Cerita dari Ibu Penjual Celana

February 07, 2016




Aku baru saja duduk di teras masjid dekat kantor. Tempat janjian aku dan Dina setiap kali hendak ke kantor. Sambil terus mengetik berita di HP. Maklum, sudah jam 4 berpacu dengan Deadline.
Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri, kira-kira usianya 37 tahun. Menawarkan barang dagangannya, celana. Aku yang masih ngetik berita, ingin sekali cuek pada ibu itu. Tapi.. ga tega.

“Berapa, bu?” Kataku.

“20 ribu, neng..” ucapnya.

Sebenarnya, aku ga butuh-butuh banget celana. Uang jajan seminggu pun udah menipis. Tapi, inget kata-kata Mba Hella pas di Masjid Salman, “lebih baik kita tuh beli jualan nenek itu. Dia udah tua tapi tetep mau usaha. Milih jualan daripada ngemis. Ga apa-apalah mahal sedikit juga,” katanya saat kami dihampiri nenek penjual makanan ringan. Mba Hella ngomong gitu pas liat ekspresi ku yang aneh pas tahu harga beng beng 10ribu dari harga normal 3.500. Tau banget? Iyalah cemilan favorit haha.

Kembali ke ibu tadi. 

Singkat cerita. Karena ingat kata-kata Mba Hella tadi akhirnya aku beli celana itu. Sambil terus mengetik berita di HP.

Namanya ibu-ibu nggak berhenti di situ. Dia juga ngajak ngobrol. Cerita tentang dirinya. Ingin sebenarnya menanggapi, tapi tetap saja kalah dengan berita yang belum selesai itu.
Aku mendengarkan cerita ibu itu, sambil terus menulis berita. Sekilas, mungkin aku seperti orang “kekinian” yang acuh terhadap orang yang sedang diajak bicara. Saat itu, aku sadar, salah. Tapi, jujur.. deadline semakin dekat dan belum ngirim berita satu pun itu bikin panik.
Baru pas nyampe kos-an. Pas ngerapihin barang di tas dan lihat celana itu baru menyadari dan berpikir tentang cerita ibu itu.

Ibu itu baru saja ditinggal pergi oleh orangtuanya. Kira-kira tujuh bulan yang lalu. Ia hidup sendiri, makan ala kadarnya. Sebelumnya, ia hidup dengan si bungsu (begitulah ibu itu menyebutnya, entah anak atau adiknya). Akan tetapi, si bungsu pergi ke Jakarta tanpa pamit dengannya. Katanya, cari pekerjaan.

“Ibu jualan ini aja, neng.. buat makan sehari-hari,” katanya.
 

Aku hanya menimpali, “iya  yah, bu..usaha. Daripada ngemis," jawabku ngasal.

Ibu itu terus bercerita. Aku melihatnya sambil sesekali mengetik beritaku. Mungkin, ibu itu menyadari kesibukanku dan akhirnya diam. Ia tak lagi berbicara. Matanya menengadah ke langit, hanya isak tangis yang terdengar.

Dan seolah tak melihat, aku cuek. Sibuk dengan beritaku. Padahal, mungkin ibu itu ingin dihibur.
Sekitar 5 menit kemudian, ibu itu permisi ke kamar mandi.

Ketika melihat kembali celana itu, ada rasa bersalah sempat mengabaikan ibu itu. Bahkan sampai sekarang merasa bersalah. “Maaf, bu.. kemarin aku terlalu sibuk menulis berita.”

Memang saat ini banyak orang yang memutuskan mengemis sebagai pilihan paling mudah untuk mendapatkan uang. Tapi, masih banyak orang yang enggan hanya meminta-minta saja, ogah mengikis harga dirinya dan memilih melalui jalan yang halal, meskipun sulit, banyak rintangan, dan uang yang didapatkan hanya sedikit. 
 
Ibu, tentu usaha yang telah ibu lakukan tidak akan sempurna. Setiap rizki yang ibu cari tentunya akan melahirkan pahala juga. Semoga Allah menyampaikan ini pada Ibu, — Bu, mungkin ibu sedih hari ini. Ibu merasa kesepian. Esok lusa, pasti ada kado gembira nan indah untuk Ibu. Hanya Allah ingin memberi sedih dulu sebelum rasa bahagia. Semoga Allah selalu melindungi ibu..

*cerita tahun lalu. Sebelumnya di pos di tumblr

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews