My Life as Script Writer

July 23, 2018

foto dari idntimes.com

"Ya Allah, bikin skrip aja tuh aku kesusahan, terus aku masih harus ngehubungin talent, ngedampingin take vokal mereka, belum lagi... kerjaan lain. Kenapa sih nggak ada yang ngerti aku?" 

Aku berlari ke kamar mandi. Udah nggak bisa lagi nahan air mata. Dan nangis sejadi-jadinya. 

***

Ini Ramadhan ketiga aku di MQFM dan ini Ramadhan tersibuk. Tahun lalu, aku ngerjain program "Penjelajah Al Quran". Drama juga, dan daily juga, tapi kisahnya berasal dari Al Quran, aku tinggal mengembangkan cerita buat dikorelasiin ke zaman sekarang.

Tahun ini? Aku ditugasin bikin drama radio berseri. Dari dua bulan sebelumnya, aku udah riset. Nonton banyak film pendek, film berseri di youtube, sampai drama radio sebelah.

Saking banyaknya riset, aku semakin bingung. Kenapa mereka bikin ceritanya keren-keren?

***

Di kamar mandi aku nangis. Sesenggukan. Menutup wajah dengan tangan. Tak lupa, kran air baik dinyalain. Biar nggak kedengeran ke luar. Duh, kaya di sinetron aja sih. 

Ah, terserah deh kaya di sinetron juga! Aku udah nggak kuat. Aku capek. Aku lelah. Tidurku nggak nyenyak. Sehari-hari aku mikirin jalan cerita mau gimana. 

Air bak penuh. Tapi, air mataku nggak bisa berhenti. Aku masih tersedu-sedu.

***

Episode pertama selesai!
Hampir seminggu aku nyelesein episode ini. Padahal, Ramadhan udah di depan mata. 14 hari lagi, dan skrip baru satu.

Jadi... setiap mendengar countdown Ramadhan, hati aku teriris. Ya Allah, skrip Pesantrend Ramadhan belum nambah lagi episodenya 😞

Padahal harusnya kan menyambut Ramadhan dengan hati seneng.

***

Ini aku udah kelamaan yah di kamar mandi?
Tapi gimana dong, air matanya turun terus nggak mau berhenti...

***

hanya 26 episode

"Udah sampai episode berapa?" Itu pertanyaan yang sering aku dapet dari Kang Dzikri. Yang lama-lama menjadi sama menyebalkannya dengan pertanyaan "udah sampe bab berapa skripsinya?"

Dan.. menginjak hari pertama bulan Ramadhan, aku baru menyelesaikan lima episode dari target 15 episode.

Berulang kali diskusi sama Teh Lilis. Aku banyak nanya disela-sela Teh Lilis sibuk bikin konten juga. Alhamdulillah-nya Teh Lilis berbaik hati nanggepin semua keluhan aku, semua yang aku rasain bener-bener tumpah ke Teh Lilis, rekan kerja yang udah aku anggep sebagai kakak sendiri.

Brainstorming sama Kang Sigit. Sampai Kang Sigit bilang, "Zul, jangan mikir gayanya harus kaya saya. Bikin gaya Zulfa aja, kaya drama Gerlong 11, Antara Bandung - Jogja. Kaya gitu aja, tinggal dikembangin,"

Iya. Perlu berulang kali aku menumbuhkan rasa percaya diri buat nulis skrip.

***

Aku masih menangis di kamar mandi.

"Gimana coba? Ini kan aku bikin skripnya buat episode besok. Sabtu. Aku udah bikin 1 segmen, terus talent-nya ga bisa dateng. Aku harus bikin lagi dong. Belum bikin yang senin. Cerita tentang apa lagi?"

Aku marah pada keadaan yang seakan tak bisa memahami aku.

***


Aku menekan tombol hapus di keyboard komputer. "Ah, ini nggak nyambung ceritanya,"

Nggak tahu udah berapa kata yang terhapus. Layar masih kosong, hanya tulisan "Segmen 1". Aku kehabisan ide.

Harusnya skrip untuk besok udah jadi, tapi karena satu dan lain hal, skrip itu nggak bisa di-take. Aku harus bikin cerita baru.

Dan sejak 30 menit laluu, aku nggak tahu harus nulis apa...

***

Dulu, script writer  itu kerjaan impian aku.  Bisa membantu mereka  dari belakang layar. Bahagia saat penyiar membacakan kata-kata yang sudah disusun. Agak sedih,  kalau  skrip dibacakan tak sesuai dengan bayangku.

Tapi, hari ini... entah kenapa pekerjaan impianku ini begitu menusukku. 

***

Maka, shalatku kuakhirkan, mengaji kutunda. bagaimana lagi? Skripnya belum selesai. Aku harus segera menyelesaikan episode ini.

***

Masih di kamar mandi. Tangisku mereda. Aku melihat wajahku di cermin. Mata, hidung, dan pipiku memerah. Sesekali air mata kembali membasahi pipiku. Tapi, aku kini jauh lebih stabil.

Sambil melihat cermin, aku berkata pada hatiku, "it's okay Zulfa.. kamu lagi belajar saat ini. Kamu nggak perlu ingin ini-itu sempurna, membandingkan karyamu dengan orang lain yang udah jauh lebih expert. Kamu juga hebat udah bisa berjalan sampai sini. Kamu bisa, kamu bisa, Zulfaa.. ayo lanjutkan! jangan menyerah!"

Air mataku masih terus mengalir. Namun kini, tanpa isakan. Aku bisa mengatur napasku sendiri. 

"Kamu udah berusaha dengan baik," ucap hatiku kembali menyemangati.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku inget Raditya Dika. Iya, yang bikin film dan selalu populer, kan dia juga pemainnya, yang bikin skripnya, terus jadi sutradara juga. 

Hatiku kembali membisikkan, "Zulfa, mungkin di masa yang akan depan, kamu akan mengerjakan sesuatu yang lebih besar. Mungkin di masa yang akan depan, impianmu yang selalu kau tulis itu akan terwujud. Tapi, jalannya lewat sini, dimulai dari sini. Maka, jika hari ini kamu menyerah, apa yang akan terjadi?"

Dengan cepat, aku menghapus air mataku. Semangat itu kembali muncul. "Ayo, Semangaat!"

Aku keluar dari kamar mandi. Kini hatiku jauh lebih baik.


***

"Jadi, apa yang mau dibantu? Mau dibagi-bagi bikin skripnya?" Tanya kang dzikri selaku Programme Director.

Aku menggeleng. Pada awalnya, aku ingin semua orang mengerti kondisi aku, tapi... tanpa diceritakan, mana mungkin orang lain paham. Mereka kan bukan dukun? Lagian dukun juga dapet informasi dikasih tau jin yang mencuri dengar dari langit.

Lagian, yang banyak kerjaan di Bulan Ramadhan kan nggak hanya aku. Aku masih jauh lebih baik dari pada Kang Deri sebagai PH. Yang nge-mix cerita-cerita jadi menarik. Aku masih bisa libur di Sabtu - Ahad. Masih bisa kerja dari rumah. Kang Deri? cenderung masuk terus di hari libur. Tapi, Kang Deri nggak drama kaya aku.

Aku menceritakan kesulitanku pada Kang Dzikri. Gimana sulitnya mengemas ide, gimana pikiran-pikiran aku yang sungguh sangat bercabang waktu nulis. Hingga, akhirnya.. "Okey. Kita diskusi untuk ide cerita setiap Selasa."

Problem solved!

***

Aku pun teringat, mengapa kemarin aku begitu kesulitan mengerjakan skrip?

Tak lain, karena aku mengesampingkan baca Quran, mempercepat shalat dan dzikirku. Pekerjaan, kudahulukan.

Kenyatanya, kata dalam halaman tak bertambah sedikit pun. Pekerjaan tak selesai sesuai targetku. 


Aku sadar, iya soalnya aku juga menjauh dari Allah, gimana Allah mau nolong kan?

Akhirnya aku ubah pola kerjaku, selesai atau tidak, di waktu istirahat, aku simpan jauh ponselku, meninggalkan komputer kerjaku, dan berduaan bersama Al Quran. Menyempatkan di antara panjangnya daftar yang harus dikerjakan. .

Hasilnya? Aku justru dengan cepat mengerjakan skrip. Begitu mudah. Ide mengalir begitu saja. Nggak kaya biasanya.

Teringat perkataan Teh Ghaida Tsurayya waktu wawancara beberapa bulan lalu, "kalau kita berhasil ngerjain sesuatu, itu bukan karena kita hebat, kita kreatif, tapi karena Allah membantu kita. Da kita mah apa atuh tanpa Allah," .

Setelah dipikir-pikir lagi, semuanya tergantung prioritas kita. Saat kita mendahulukan dunia, Allah tak sedikit pun menolong. Namun, saat kita memprioritaskan apa yang Allah suka, mendahulukan ibadah, justru Allah mempermudah dan memperlancar semua urusan kita. 


***

Ini secuil ceritaku kala menjadi script writer. Project Ramadhan kemarin, sedikit banyak menempa hidup saya yang suka drama-an gini anaknya.

Pada akhirnya, apapun pekerjaanmu, kamu suka atau merasa terjebak di dalamnya, lakukanlah dari hati. Karena, lewat hati kita bisa bersyukur dan bahagia. Berkaryalah dengan ikhlas...

You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews