Luka yang Kita Ciptakan Sendiri

August 07, 2018

Hari itu aku tak berhenti menangis. Seakan tak ada jeda sedikit saja supaya aku bisa tersenyum.

Masih ingat sekali dalam bayangku. Aku memeluk bantal sambil terisak-isak. Hatiku terluka, pikiranku kacau. Aku tidak bisa menerima sesuatu yang terjadi padaku. Sesuatu yang tak pernah sama sekali kubayangkan.

Masih di hari yang sama. Aku mencoba berdamai dengan kenyataan. Tapi, luka itu justru tambah menganga di relung hatiku. Ah, andai saja mengobati luka di hati cukup dengan obat merah, tentu sudah ku lakukan dari tadi.

Aku terluka. Hatiku merasa tak layak untuk disakiti. Aku tidak boleh dibuat menangis. Aku tidak boleh diberikan kabar buruk. Ya. Aku hanya pantas bahagia.

Aku terluka. Tersebab oleh harapan-harapanku yang terlanjur melambung tinggi. Khayalanku telah menyatu dan kuanggap itu sebagai realita. Aku optimis, impianku ini akan segera terwujud. Berbagai hal telah aku persiapkan. Aku harus melangkah lebih awal. Namun aku lupa menyiapkan pil pahit dalam harapan itu.

Kenyataannya, takdir itu tak pernah menghampiriku. Justru menjauh, terbang bersama anganku. Aku terluka oleh harapan-harapanku.

Dan yang ku lakukan hanya bisa menangis. Dan meminta segera diberikan kabar bahagia. Tapi Allah tak begitu. Tak lantas memberikanku secercah kabar bahagia. Ia membiarkanku dalam kesedihan sehingga hatiku semakin terluka.

Luka itu semakin membesar, dan lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana caranya mengobati luka ini. 

Sampai suatu hari, aku "terlibat" dengan dua orang yang tengah berada dalam konflik. Sebut saja, Hana dan Gita. Aku tahu, keduanya sangat dekat, bersahabat. Berjuang bersama. Satu pemikiran.

Gita, pagi itu menghampiriku. Sudah lama aku tak bertemu dengannya, ribuan cerita kukisahkan padanya. Tapi tatapannya kosong, seakan ceritaku tak menarik. Saat aku terdiam, ia baru menyadarinya.

"Ah, maaf.. Aku sedang tak fokus. Jiwaku ada di sini, tapi pikiranku di banyak tempat," katanya, dengan air yang tengah penuh di dalam matanya. Mendesak untuk keluar.

Aku dengan sungkan bertanya, "ada apa?"

Gita tak berbicara sepatah katapun. Hanya menangis. Sesekali ia mengatakan hatinya sakit. Gita hanya ku peluk. Biarlah ia menangis terlebih dahulu. 

"Hana tiba-tiba berubah padaku. Chatnya sangat menyiratkan ia tak suk denganku. Tapi aku tak mengerti dimana salahku. Seharusnya sebagai sahabat, ia mengatakan apa salahku, jangan lantas membuat konflik baru,"

"Mungkin itu hanya perasaanmu saja," lagi-lagi kalimat andalanku. Kalimat yang menyiratkan jika berperasaan dan terlalu peka adalah salah. Ah, aku salah menanggapi.

"Terakhir bertemu, Aku cerita kalau aku tak lolos beasiswa. Aku hanya menjabarkan kemungkinan kenapa aku tak lolos,"

Aku kemudian teringat, Hana mengirim pesan kepadaku beberapa waktu lalu, ia bercerita dan merasa sakit hati dengan Gita. Gita seakan menyalahkan Hana atas ketidakberhasilannya dalam seleksi beasiswa. Katanya, Hana tak sungguh-sungguh membimbing Gita dalam membuat essay, dan mengajak Gita main sehari sebelum proses wawancara.

"Mungkin dalam katamu ada yang hm, menyinggung?" Hati-hati aku berkata. Urusan perasaan tak pernah mudah.

"Aku hanya mengatakan, salah satu alasan aku tak lolos karena Hana mengajakku main ke mall sebelum wawancara. Aku ga salah kan?"

Gita merasa kata-katanya tidak menyakiti Hana, dan Hana justru merasa tersinggung dengan kata itu. Sederhana. Tapi ketika perasaan terlibat, tak bisa disebut sederhana

Luka yang dibalas dengan luka juga. 

"Bicaralah pada Hana. Katakan maksudmu. Biar Hana juga cerita, apa yang mengganjal hatinya. Jangan sampai kalian terbiasa dengan asumsi yang kalian ciptakan sendiri," aku hanya menyarankan itu sebelum Gita beranjak pergi.

Jika memang luka dibalas dengan luka.. Jadi.. Luka apa yang telah kugoreskan? Hingga kini hatiku begitu sakit. 

Memang terkadang, sakit yang tersemat di dalam hati kita itu, tersebab oleh luka yang kita tanam sendiri dalam hati orang lain. Tanpa kita sadari, luka itu diciptakan oleh diri kita sendiri.

Dan kini, aku belum menyadari luka apa yang telah kutorehkan pada orang yang kuanggap telah menyakitiku dan membuatku terluka. Bisakah kita juga berbicara berdua? 


You Might Also Like

0 komentar

Total Pageviews